Belajar, Humaniora dan Etik Dalam Kedokteran
A.
PENGERTIAN HUMANIORA
Menurut bahasa latin, humaniora disebut artes
liberales yaitu studi tentang kemanusiaan. Sedangkan menurut pendidikan Yunani
Kuno, humaniora disebut dengan trivium, yaitu logika, retorika dan gramatika.
Pada hakikatnya humaniora adalah ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang mencakup etika, logika, estetika, pendidikan pancasila,
pendidikan kewarganegaraan, agama dan fenomenologi. Secara umum, humaniora
dapat diartikan sebuah disiplin akademik
yang mempelajari kondisi manusia, menggunakan metode yang terutama analitik,
kritikal, atau spekulatif, sebagaimana dicirikan dari sebagian besar pendekatan
empiris alami dan ilmu sosial.
Humaniora merupakan studi yang memusatkan
perhatiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur kreativitas, kebaharuan,
orisinalitas, keunikan, humaniora berusaha mencari makna dan nilai, sehingga
bersifat normatif. Dalam bidang
humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu
objek atas dasar dalil-dalil saja, tetapi juga hal-hal yang bersifat
imajinatif, sebagai contoh: Leonardo da Vinci mampu menggambar sebuah lukisan
yang mirip dengan bentuk helikopter jauh sebelum ditemukannya helikopter.
Sumber : http://olimpiadehumaniora3.wordpress.com/about/.
B.
KEDUDUKAN HUMANIORA SEBELUM DAN SAAT PENDIDIKAN MODERN
Humaniora merupakan sebuah ilmu yang juga
berubah-ubah seiring dengan perkembangan zaman. Berikut ini akan dijelaskan
mengenai kedudukan humaniora sebelum dan saat pendidikan modern yang terjadi di
Eropa dan Amerika menurut K. Bertens (2009 : 155-158).
1.
Sebelum Pendidikan Modern
Di universitas-universitas pertama di Eropa (sekitar
abad ke-13), humaniora memainkan peran sentral. Saat itu humaniora di mengerti
sebagai artes liberals atau the liberal arts yang di ajarkan dalam facultas
Artium (the Faculty of Arts). (K. Bertens, 2009 : 155). Maksudnya adalah di
universitas-universitas di Eropa pada masa itu menganggap bahwa humaniora
memiliki kontribusi yang tinggi dalam setiap disiplin-disiplin ilmu, terutama
di kota Paris. Semua mahasiswa harus menjalani pendidikan di Facultas Artium
dulu sebelum diterima di fakultas lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa studi/ilmu
humaniora menjadi tahap awal seluruh pendidikan tinggi.Pada masa itu, studi
humaniora mempunyai ruang gerak yang luas dan dianggap sebagai studi penting
yang harus dipelajari oleh pelajar pada masa tersebut.
2. Saat
Pendidikan Modern
Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi di
zaman modern, jumlah fakultas di perguruan tinggi bertambah besar, jumlah
program studi juga makin bertambah, dan sekaligus peranan humaniora semakin
berkurang, sebab kini dengan humaniora dimengerti ilmu sejarah, filsafat, ilmu
bahasa serta sastra, dan ilmu-limu budaya lain yang seharusnya dengan humaniora
manusia bisa mengerti apa arti sebenarnya pernyataan “memanusiakan manusia”.
Ruang gerak untuk mereka menjadi semakin sempit.
C.
KEDUDUKAN HUMANIORA DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya, humaniora merupakan ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang mencakup etika, logika, estetika, pendidikan pancasila,
pendidikan kewarganegaraan, agama dan fenomenologi. Memasuki zaman modern dan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Indonesia berusaha
mengikuti perkembangan tersebut. Dalam bidang pendidikan, Indonesia saat ini
sedang bergerak naik dengan berbagai usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah
dalam memajukan mutu pendidikan bangsa. Hal ini mendapatkan perhatian dari
masyarakat dengan meningkatnya minat untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih
tinggi (perguruan tinggi) dengan berbagai macam pilihan ilmu dan program studi
yang ada. Namun, sayangnya, masyarakat cenderung memiliki anggapan bahwa
kesuksesan hanya berpihak pada seseorang yang belajar atau mempelajari
ilmu-ilmu eksak saja. Inilah mengapa humaniora mendapat pandangan miring oleh
masyarakat. Berikut ini akan dijelaskan mengapa ilmu-ilmu humaniora kurang
mendapat perhatian oleh masyarakat di Indonesia :
1. Masih
kuatnya pengaruh aliran positivistik . Seperti yang kita tahu, aliran filsafat
positivistik
2.
Mengesampingkan ilmu-ilmu humaniora dalam berbagai aktivitas ilmiah
bahkan dalam opini masyakarat. Tidak bisa kita tutupi kenyataan yang terjadi di
dalam masyakarat seperti ekspektasi para orang tua agar anaknya kuliah di
fakultas-fakultas ilmu eksak daripada mengambil ilmu humaniora. Kenyataan
seperti inilah yang menyebabkan humaniora semakin tersisih di dalam pendidikan.
3. Gagap
teknologi (gaptek) dipandang lebih memalukan daripada gagap budaya (gaya) dan
gagap kemanusiaan (gamas). Seseorang yang tidak mengikuti perkembangan
teknologi yang paling mutakhir dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Gagap
budaya (gaya) terlihat dalam kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan alam
pemikiran atau gagasan yang berkembang dalam kehidupan modern. Gagap
kemanusiaan (gamas) terlihat pada sikap meremehkan dan tidak peduli dengan
nasib manusia lainnya. Gagap kemanusiaan yang sering terjadi misalnya ketika
banyak korban bencana yang sangat membutuhkan bantuan, seseorang tidak mau
membantu bahkan bersikap tidak mau tahu akan kejadian tersebut.
4. Rasa
minder atau rendah diri yang dialami oleh orang-orang yang berkecimpung dalam
ilmu humaniora menyebabkan lemahnya persaingan dalam perkembangan ilmu.
Berdasarkan sebab-sebab di atas, kita dapat mengerti
mengapa ilmu humaniora mendapat pandangan yang negatif dibanding dengan ilmu
eksak. Tersingkirnya humaniora di Indonesia juga disebabkan oleh sumber daya
manusia yang menggeluti bidang humaniora kurang serius dan menjadikan bidang
humaniora sebagai aktivitas sambilan yang tidak dihayati dan direfleksikan
secara total, rendahnya dukungan pemerintah terhadap riset atau penelitian ilmu
humaniora berupa alokasi dana yang tidak seimbang dibanding dengan ilmu eksak,
terlebih bidang teknologi, dll.
Untuk
mencegah semakin tersingkirnya humaniora, maka usaha-usaha yang dapat lakukan
adalah sebagai berikut dengan melihat sebab-sebab di atas:
1.
Memasukkan ilmu humaniora dalam berbagai aktivitas ilmiah, karena
sebenarnya peran ilmu humaniora akan menyempurnakan hasil-hasil ilmiah.
2.
Mensosialisasikan kepada masyarakat khusunya para orang tua, bahwa
kesuksesan tidak hanya terjadi jika kuliah di bidang eksak saja, tetapi juga
dalam bidang ilmu humaniora.
3.
Memotivasi para ilmuan agar tidak menjadi rendah diri bekerja dalam
bidang humaniora.
D.
HUBUNGAN HUMANIORA DENGAN ETIKA
Telah kita ketahui definisi humaniora, yaitu
ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup etika,
logika, estetika, pendidikan pancasila, pendidikan kewarganegaraan, agama dan
fenomenologi. Sedangkan etika adalah ilmu yang mempelajari baik buruk dan benar
salah dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan manusia dan
lingkungannya. Seperti yang disebutkan di atas, etika itu sendiri masuk ke
dalam nilai-nilai kemanusiaan yang dipelajari oleh studi humaniora. Dalam studi
humaniora, etika menjadi salah satu unsur penting di dalamnya. Humaniora mempelajari
tentang bagaimana manusia bekerja untuk kebaikan, perbaikan demi tercapainya
kesejahteraan manusia. Sudah jelas jika dalam bekerja usaha-usaha manusia untuk
bekerja untuk kebaikan dan perbaikan yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia
itu pasti berkaitan dan berhubungan dengan etika yang mempelajari baik buruk
dan benar salah dalam kehidupan manusia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa humaniora sangat
berkaitan erat dengan etika. Humaniora membutuhkan etika sebagai pedoman dalam
mencapai tujuan utamanya yaitu bekerja untuk kebaikan dan perbaikan demi
terciptanya kesejahteraan manusia.
Pengetahuan tentang humaniora sangat luas. Tapi
bahasan kita dalam kuliah ini terbatas pada bidang kehidupan kita sebagai
dokter. Pengetahuan ini harus dapat diterapkan di segala bidang kehidupan Anda
kelak sebagai dokter. Bidang yang dimaksud antara lain:
Praktek
kedokteran
Pelayanan
kesehatan
Pendidikan
kedokteran
Penelitian
Berbicara tentang humaniora, berarti berbicara
tentang beberapa aspek yang memiliki pengertian yang saling berkaitan, di
antaranya mengenai humanisme, etika, kebudayaan dan perilaku. Humaniora
memberikan wadah bagi lahirnya makna intrinsik nilai-nilai humanisme. Humanisme
sendiri adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa
perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang lebih baik. Ada juga yang
berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah laku mengenai perhatian manusia
dengan menekankan pada rasa belas kasih serta martabat individu.
Pengertian etika yang dipahami lebih luas di
kalangan medis selama ini selalu menjadi jargon seorang dokter. Etika
kedokteran dalam kamus kedokteran Stedman dirumuskan sebagai principles of
correct professional conduct with regard to the rights of the physician
himself, his patients, and his fellow practitioners. Dengan kata lain etika
dalam kedokteran merupakan prinsip-prinsip mengenai tingkah laku profesional
yang tepat berkaitan dengan hak dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, dan hak
teman sejawatnya.
Bila dikaitkan dengan kebudayaan, maka seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, dokter adalah suatu profesi yang berhubungan
langsung dengan manusia sebagai lawan interaksinya dalam konteks makhluk yang
sama berbudaya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang
berkaitan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.
Untuk membangun nilai-nilai sosial itu agar tetap menjadi landasan bagi setiap
dokter -terutama sebagai dokter muslim- dalam menjalani kehidupan profesinya
yang luas, maka disinilah pengetahuan kebudayaan menjadi konsep dasar dalam
membangun jati diri sebagai petugas layanan kesehatan.
Sehubungan dengan itu, penggunaan konsep perilaku di
sini berada dalam pengertian ketunggalannya dengan konsep kebudayaan. Perilaku
seseorang, sedikit atau banyak, terkait dengan pengetahuan, nilai dan norma
dalam lingkungan-lingkungan sosialnya, demikian juga halnya dengan seorang
dokter. Untuk proses hulu, lingkungan pendidikan yang baik tentu akan mengantar
seseorang untuk berperilaku yang baik pula.
Ilmu kedokteran khususnya kedokteran umum yang
menangani manusia jelas sangat paralel dengan pengetahuan budaya yang berkaitan
dengan hasil kesadaran manusia. Segala penalaran dokter sebagai manusia akan
sama dengan penalaran budi manusia. Ilmu kedokteran yang selalu memikirkan
jasmani dan rohani manusia akan selalu dituntut oleh keadaan lingkungan
masyarakat. Salah pikir dari seorang dokter berarti akan bertentangan dengan
hati nurani manusia yang melekat dalam pribadi sang dokter. Sebaliknya
kesuksesan dokter akan selalu menjunjung tinggi dan mengangkat nama harumnya
karena segala kesuksesan itu tentu dilandasi oleh budi/pikiran manusia secara
sadar. Lantas, bagaimana kaitannya dengan humanisme?
Menurut Profesor U Mia Tu dari Myanmar dalam
orasinya tentang humanisme dan etika dalam berbagai bidang kedokteran,
terminologi humanisme awalnya dikaitkan dengan pergeseran filosofi dan budaya
selama masa renaisans Eropa. Belakangan, maknanya bergeser menjadi sebuah sikap
yang berkenaan dengan perhatian manusia pada sesamanya dengan menekankan pada
‘compassion’ -belas kasihan- dan martabat individual.
Secara tidak langsung, humanisme menyatakan suatu
penghargaan kepada pasien sebagai seorang individu; menunjukkan belas kasih dan
mengerti akan rasa takut dan khawatir dalam diri pasiennya; menyatakan suatu
komunikasi yang berarti kepada pasien sebagai seseorang dan bukannya sebagai sebuah penyakit. Lebih
lanjut dia mengatakan, humanisme dalam kedokteran lebih dari sebuah etika.
Lebih dari sekedar menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan
fisik dan mental pasien karena kelalaian diri. Lebih dari yang sekedar tertulis
dalam sumpah Hippocrates. Humanisme merupakan tindakan positif, seperti halnya
belas kasihan yang bukan sekedar perasaan prihatin kepada penderitaan orang
lain tapi menolong dengan memberi saran atau tindakan yang meringankan
penderitaannya. Namun sungguh mengejutkan karena definisi ‘belas kasihan’ tidak
masuk dalam dua kamus utama kedokteran – Dorland dan Stedman. Meskipun
demikian, rasa belas kasih sama pentingnya dengan pengetahuan ilmiah dan
keterampilan pada seorang dokter yang humanistik.
Situasi apa yang menyebabkan sehingga humanisme dan
etika mengilhami profesi kedokteran saat ini? Apa yang telah terjadi sehingga
menyebabkan banyak dokter-dokter senior menyuarakan keprihatinannya terhadap
kondisi profesi kita?
Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa
kita telah jauh menyimpang dari idealisme sebagai dokter. Fenomena ini telah
mendunia dan juga telah menyebar ke dalam negara kita. Bukan hanya praktek
medis dan perawatan pasien yang menyimpang dari idealisme sosial, bahkan konsep
humanisme menjadi sesuatu yang asing dalam pendidikan kedokteran dan dalam
bidang penelitian kedokteran. Benar bahwa etika kedokteran termasuk dalam
kurikulum pada beberapa sekolah kedokteran, namun diduga hal tersebut hanya
sebagai metode resmi untuk menenangkan
hati mereka. Kenyataannya, dibutuhkan lebih dari sekedar memasukkan subjek etika
kedokteran ke dalam kurikulum agar lulusan kedokteran menjadikan humanisme dan
perilaku etis sebagai sifat kedua mereka.
Seorang dokter bernama Assi Ba’l mengemukakan
kerisauannya tentang profesi dokter saat ini. Menurutnya ada beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya fenomena tersebut, antara lain:
·
Pemisahan antara jasad dan jiwa
·
Pemisahan antara pencegahan dan pengobatan
·
Penghambaan diri terhadap teknologi modern
·
Berlebihan dalam mengejar spesialisasi
·
Perbedaan dalam tingkat pelayanan kesehatan
Karena tuntutan akan kompetensi profesi yang semakin
meningkat, dokter-dokter berlomba dalam menyempurnakan sisi keilmuannya.
Kegamangan menghadapi masyarakat yang gemar menggugat, ketakutan melakukan malapraktek,
peningkatan kejahatan moral oleh praktisi medis, semua hal-hal tersebut
menyebabkan para dokter sangat fokus pada keahlian medis mereka. Mereka menjadi
sangat perhatian dalam menangani keluhan fisik pasien, yang penting pasien
sembuh dari derita fisiknya. Mereka tidak perlu repot-repot menangani jiwa
pasien mereka, yang penting pasien itu belum masuk kategori gila (silakan ke
ahli jiwa kalau jiwa anda terganggu).
Untuk urusan pencegahan penyakit, diserahkan dengan
hormat kepada teman-teman mereka, ahli kesehatan masyarakat. ”Kami cukup
mengobati mereka yang sakit. Kalau ikut-ikutan dalam program pencegahan,
bisa-bisa kita dituding mengambil lahan kerja mereka”. Begitu barangkali yang
ada dalam benak para dokter. Padahal sangat jelas bahwa para dokter pun
diharapkan partisipasi aktifnya dalam program pencegahan penyakit, bahkan mulai
pada tahap awal dari five level prevention, yaitu promosi kesehatan.
Perkembangan teknologi dalam dunia kesehatan begitu
menggila belakangan ini. Seorang dokter tentu tidak mau ketinggalan dalam
bidang teknologi atau akan dicemoohkan oleh masyarakat -yang sudah semakin
kritis- tentang jati dirinya sebagai seorang profesional. Tidak ada istilah,
dokter tidak mengerti tentang perkembangan jaman, walaupun dokter itu baru saja
kembali dari daerah terpencil yang harus didiaminya selama dua-tiga tahun.
Teknologi modern adalah suatu keharusan. Salah satu hal yang dapat
memfasilitasi kebutuhan itu adalah dengan
bersekolah kembali, dan yang menjadi prioritas tentunya pendidikan
spesialisasi. Ikut pendidikan dokter spesialis tentunya akan membuat para
dokter akan terus-menerus berhubungan dengan perkembangan teknologi karena
pusat pendidikan berada di kota-kota besar. Tentu saja kita tidak dapat
menyalahkan dokter yang berniat meneruskan minatnya pada ilmu tertentu.
Ditopang oleh kecenderungan masyarakat yang selalu mengandalkan dokter
spesialis dan bertindak merujuk dirinya sendiri langsung kepada seorang ahli,
serta adanya jaminan income yang lebih menjanjikan, membuat mereka berlomba-lomba
meraih gelar tersebut.
Menurut Anda, apakah semua ini tidak cukup membuat
seorang dokter merasa terbebani sehingga punya waktu lagi untuk memikirkan
perasaan pasiennya? Tidak cukupkah dia dapat menghilangkan keluhan
pasien-pasiennya dan meringankan derita fisik mereka? Dan ada apa dengan
orang-orang di sekelilingnya, toh mereka mempunyai kehidupan masing-masing yang
tidak memerlukan campur tangan batinnya, selama dia tidak merugikan mereka.
This is our own life, marilah kita jalani sendiri-sendiri tanpa saling
mengganggu. Kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkan kehidupan kita kelak.
Ini betul. Tapi apakah memang semuanya harus berjalan demikian? Betulkah
semata-mata tangan dingin sang dokter saja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan
masalah pasiennya? Mari kita lihat bagaimana humaniora memandang kehidupan
seorang dokter.
1. Humanisme dan etika dalam praktek kedokteran
Merawat orang sakit pada level fundamental berakar
pada jiwa manusia dan humanisme. Misalnya seorang ibu yang merawat anak atau
bayinya yang sedang sakit, kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan
berupa saran/nasihat dimanapun diinginkan, sementara seorang wanita tua di
antara para warga merespon permintaan bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak
memiliki motif yang berkaitan dengan
uang dalam memberikan bantuan, tapi dilandasi atas dasar belas kasih.
Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu
orang-orang suci, pendeta, tabib dan dukun telah merawat orang-orang sakit
karena adanya keyakinan bahwa penyakit adalah manifestasi dari pengaruh iblis
yang dilakukan dengan perantaraan tuhan atau makhluk supernatural atau manusia
lain. Motif mereka dalam menyembuhkan orang sakit mungkin tidak sepenuhnya
untuk kepentingan orang sakit tersebut karena mereka memperoleh keuntungan dalam
tatanan sosial atas bantuan tersebut, disamping adanya kekuasaan dan otoritas
yang diberikan pada mereka dalam masyarakat.
Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter,
kita diyakinkan bahwa masalah sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih
terhadap penderitaan pasien, dan keinginan untuk memberikan pelayanan
kesehatan. Dokter praktek dan spesialis saat ini memiliki hubungan
dokter-pasien ’one-to-one’ yang unik dan sangat pribadi, melibatkan kepatuhan,
ketergantungan, dan kepercayaan yang utuh dari pasien terhadap otoritas,
pengetahuan dan keterampilan dokternya. Dengan otoritas tersebut terciptalah
unsur kewajiban sosial untuk melayani dengan belas kasih kepada mereka yang
percaya dan bergantung kepada kita.
Tetapi martabat dan status profesi dokter dulunya
tidak setinggi seperti yang kita lihat sekarang. Misalnya pada jaman India
kuno, hanya dokter kerajaan yang memiliki status yang tinggi. Dokter pada jaman
itu dianggap tidak berdarah murni dan tidak pernah diundang pada acara-acara sesajian
untuk dewa-dewa. Kasta Brahmana tidak seharusnya menerima makanan dari seorang
dokter karena dianggap najis/kotor (Rao & Radhalaksmi,1960). Pada masa
kekaisaran Roma, dokter adalah pekerja berat, orang liar, orang asing, dan
pengobatan dianggap sebagai pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18, dokter
bedah dan ahli obat-obatan dianggap seperti pedagang dan termasuk kelas
pinggiran. Bahkan sekurangnya di abad 19, dokter di Perancis sangat miskin dan
statusnya juga rendah (Starr, 1949).
Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu
kedokteran dan kemampuan para dokter mempengaruhi perjalanan penyakit secara
radikal, bermula di akhir abad ke-19, secara perlahan kedokteran berubah
statusnya dari sekedar tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan bersamaan
dengan itu kekuasaan dan martabat profesi dokter juga meningkat seterusnya
hingga di abad 20 ini.
Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang
menjadi karakter sebuah profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi,
mengontrol semua yang ingin memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi
melalui pelatihan termasuk teori, bukan hanya keterampilan seperti pada
pekerjaan tukang. Profesi kedokteran selanjutnya menyusun lembaga profesi
struktural (asosiasi, publikasi, sekolah kedokteran yang dapat dikontrol) dan
bertujuan memberikan pelayanan yang humanistik kepada masyarakat untuk
kepentingan mereka.
Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang
mendasar sejak masa awal dan berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab
seorang dokter. Namun harus dicatat, bahwa semua pernyataan tentang etika dapat
disesuaikan secara profesional dengan dunia medis. Dan tidak satupun yang
berkenaan dengan aspek humanistik.
Pola praktek dokter pada awal abad delapanbelas
bersifat ‘biaya pelayanan tunggal’ yaitu seorang dokter memberikan pelayanan
medis dan untuk itu dia dibayar, baik berupa uang maupun berupa hasil-hasil
pertanian seperti yang masih terdapat di negara-negara berkembang di beberapa
daerah dan desa yang miskin. Ini adalah masa dokter pedesaan atau dokter ‘kuno’
atau dokter keluarga yang mengetahui dengan baik keluarga tersebut, berkeliling
ke rumah-rumah, dan bertindak sebagai ‘teman dan penuntun yang dapat dipercaya’,
di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga itu.
Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit
di abad 18 dan 19 membuat dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin
banyak dokter menetap di daerah kota untuk berpraktek. Hilangnya dokter
pedesaan atau dokter keluarga memulai timbulnya ‘pelayanan dehumanisasi’ di
rumah-rumah sakit.
Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktek di
negara-negara industri berubah sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar.
Dari praktek mandiri, sekarang kebanyakan dokter praktek berkelompok di bawah
persetujuan formal penggunaan fasilitas dan peralatan medis bersama-sama dan
pendapatan didistrubusikan sesuai perjanjian awal dengan melibatkan personalia
kesehatan.
Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan
kesehatan, hasilnya adalah meningkatnya komersialisasi layanan medis dan
bertumbuhnya industri medis yang kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan
industri rakyat seperti saat dokter berpraktek mandiri. Manager di bidang
kesehatan ini – ekonom dan CEO (pejabat eksekutif), yang semakin sering
memutuskan jenis praktek pelayanan dan jenis organisasi dibandingkan para
dokter. Harga-harga obat melambung dan penggunaan peralatan medis yang canggih
berkonsekuensi dengan pembayaran yang tinggi. Telah dikatakan, semakin dokter
bergantung pada teknologi semata, semakin mereka kehilangan rasa
kemanusiaannya, yang berujung pada ‘pelayanan dehumanisasi’. Hal tersebut
ditambah dengan ketakutan akan tuntutan malapraktek, dokter membayar asuransi
untuk dirinya, yang tentu berdampak pada pasien sehingga biaya layanan
kesehatan semakin tinggi.
Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku
profesi yang menekankan pada aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan
merusak panggilan altruistik dan humanistik sang dokter.
Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar
menelaah sebuah film bergenre kedokteran, berjudul “Patch Adam”. Dia tertarik
pada kritik sang pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter Adam: “Anda bahkan tidak melihat kepada pasien saat
Anda berbicara pada mereka” dan saat dia berbicara melawan Badan Medis:
“Kematian bukanlah musuh, saudara-saudara, tapi sebuah kelalaian. Anda
menangani penyakit, hasilnya kalah atau menang. Anda menangani pasien, anda
akan menang bagaimanapun hasil akhirnya”.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada
berapa banyak dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas
kasih? Saya tidak menyatakan bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas
kasih karena saya mengenal beberapa dokter yang betul-betul menangani pasiennya
dengan hati.
Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita
rasakan. Banyak dokter melayani pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh
tatakrama, tapi yang kita bicarakan dalam kaitannya dengan humanisme adalah
dokter melayani pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan pasiennya.
Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak semata-mata memburu apa
yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan pasien ini segera
menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk.
Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan
sentuhan
humanisme, dan tepat jika menduga bahwa mereka akan
lebih nyaman dengan dokter yang menatap mereka saat melakukan anamnesis dan
memperlihatkan sikap menerima dan mengerti akan segala keluhannya. Itu tidak
sulit dilakukan. Tempatkan saja diri Anda pada posisi mereka. Lalu nilai,
situasi mana yang lebih Anda sukai, ditangani oleh dokter yang berwajah dingin
yang sibuk meneliti penyakit Anda atau oleh dokter yang menunjukkan perasaan
kasih akan tiap keluhan Anda.
2. Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan
Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan
bertanggung-jawab terhadap kesehatan rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno
membangun tempat untuk orang-orang sakit dan cacat, bahkan tempat khusus
semacam rumah sakit untuk kebidanan dan bedah. Kerajaan Romawi mengatur tempat
layanan kesehatan untuk orang-orang miskin yang akan dikunjungi oleh
dokter-dokter umum untuk memberikan pemeriksaan kesehatan yang dibutuhkan.
Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari
Eropa, kedokteran di negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah
sakit yang besar di Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala
aspek dari layanan kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi spiritualnya
(memperdengarkan Al-Quran sepanjang saat tanpa henti), aspek-aspek estetika
(seperti memainkan musik lembut di malam hari untuk membantu mereka yang sulit
tidur), dan aspek-aspek yang dapat meningkatkan semangat mereka (seperti
membacakan kisah-kisah yang menggugah jiwa pasien). Bahkan pasien diberikan
sejumlah uang yang dapat menutupi kekurangan semasa sakit, hingga mereka mampu
kembali bekerja (Guthrie, 1958). Ini adalah pendekatan yang betul-betul
manusiawi.
Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris
relatif terlambat. Butuh terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya
Badan Kesehatan sebagai badan resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil
alih langkah darurat jika terjadi penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler
di dunia medis pada masa-masa setelahnya mengubah pola tingkah dokter dan
pelayanan kesehatan. Teknologi tersebut membutuhkan biaya yang mahal sehingga
tidak mampu digapai oleh masyarakat miskin. Ditambah lagi dengan dokter-dokter
yang terlatih di rumah sakit yang sangat sedikit dibekali dengan kemampuan
untuk menghadapi masalah kesehatan dalam masyarakat dan perkembangan baru dalam
pelayanan kesehatan. Sekarang ini, dikembangkan filosofi baru mengenai
pelayanan kesehatan berbasis persamaan dan keadilan sosial yang berakhir pada
gerakan Pelayanan Kesehatan Primer dan Kesehatan untuk Semua (World Health
Organisation, 1981)
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam era pasar
ekonomi, kedokteran telah menjadi bisnis besar hingga di negara-negara
berkembang. Karena bisnis bersifat mengejar keuntungan, biaya pelayanan
kesehatan akhirnya meningkat. Dan akibatnya pelayanan terhadap masyarakat
miskin terabaikan. Idealnya, dokter mampu melakukan praktek hingga menyentuh
seluruh lapisan masyarakat, agar nilai-nilai humanisme tetap terjaga. Tentu,
secara pribadi hal tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika penentu kebijakan
terutama dalam bidang kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat dengan
keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang tercanggih
sekalipun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.
3.
Humaniora dan etika dalam pendidikan kedokteran
Lantas, apa yang bisa menjadikan seorang dokter
memiliki kemampuan teknis sekaligus sikap humanistik dalam perilaku profesinya?
Apakah itu bagian dari pelatihan dan pendidikan mahasiswa kedokteran dengan
melihat contoh dari para dosennya? Mari kita lihat bagaimana humanisme dalam
pendidikan kedokteran.
Baik di dunia barat maupun dalam budaya timur,
pelatihan untuk menjadi seorang dokter bermula dari sistem magang, yaitu suatu
sistem pelatihan yang bersifat desentralisasi di mana murid dan gurunya terikat
dalam suatu hubungan pribadi. Sejak jaman dulu, murid kedokteran di India
misalnya, tinggal di rumah gurunya dan bahkan menjadi anggota keluarga yang
ikut mengerjakan segala pekerjaan rumah sang guru. Karena kontak yang sangat
dekat dengan gurunya, seorang murid tidak hanya belajar dari guru, tapi
menyerap filosofi, sikap, tingkah laku moral, nilai-nilai dan metode hidupnya
serta cara guru menghadapi pasiennya, singkatnya ‘bedside manner’ sang guru
tadi.
Karena kebutuhan akan dokter dan ahli bedah semakin meningkat,
perubahan sistem pelatihan mengalami perubahan. Kerajaan Romawi mengambil alih
pelatihan dokter dengan menunjuk guru-gurunya. Di negara-negara Islam,
pendidikan kedokteran telah berjalan dengan baik. Mereka ditempatkan di rumah
sakit untuk pendidikan kedokteran. Warga yang kaya membangun rumah-rumah sakit
yang mempekerjakan dokter-dokter handal yang bertanggung-jawab dalam penanganan
pasien sekaligus mengajar murid-murid kedokteran.
Sekolah-sekolah kedokteran di Eropa pada abad 9
hingga 13 menjadikan pendidikan
kedokteran sebagai basis dan memberikan gelar dokter setelah melalui suatu
pendidikan dan ujian tertentu. Fakultas kedokteran ini tidak hanya melatih para
dokter tetapi juga mengontrol tindakan mereka. Dengan semakin banyaknya
mahasiswa yang dilatih di rumah sakit, keadaan pasien yang sebenarnya
terabaikan. Metode pengajaran klinis dengan jumlah mahasiswa yang besar
berdampak buruk pada pasien. Dan metode ini diadaptasi oleh semua sentra
pendidikan kedokteran di dunia.
Sekarang kita mungkin dapat melihatnya di
rumah-rumah sakit, beberapa pasien mengeluh jika terlalu banyak disentuh oleh
mahasiswa (ko-ass). Mereka menghindar untuk dirawat di rumah sakit pendidikan
karena merasa dijadikan orang coba oleh para ko-ass, terurama pasien-pasien dari
golongan menengah ke atas. Sebetulnya keadaan ini dapat kita hindari bersama.
Pasien tentu tidak akan mengeluh jika tidak merasa dirinya hanya dijadikan
objek pembelajaran. Caranya tentu dengan menanamkan kepercayaan kepada pasien
dan masyarakat umumnya. Dan itu dapat dimulai dari Anda, sebagai calon dokter.
Sebagai mahasiswa, Anda harus betul-betul memahami
semua yang Anda pelajari selama proses pendidikan dan menguasai seluruh
kompetensi yang sudah ditetapkan. Jika kelak Anda dipercayakan untuk memegang
pasien pada saat kepanitraan klinik dan dapat menunjukkan bahwa sebagai
mahasiswa kedokteran Anda cukup handal, maka pasien akan dengan senang hati
mempercayakan penanganan penyakitnya pada Anda . Apalagi jika dibarengi dengan
tindakan yang etis dan penuh sentuhan manusiawi, tidak akan ada pasien yang
menolak Anda. Kita harus benar-benar tulus menghadapi mereka, mendengar keluhan
mereka dengan sabar, memperhatikan apa yang menjadi persoalan sesungguhnya bagi
mereka. Ingatlah pepatah bijak orang tua kita bahwa apa yang dilakukan dari
hati sampainya ke hati juga.
Dengan
begitu, Anda dapat melalui proses pendidikan kedokteran dengan baik karena
sebenarnyalah hubungan yang terjadi antara Anda dengan pasien tadi adalah
hubungan kerjasama. Anda, sebagai mahasiswa, membutuhkan mereka. Maka buatlah
mereka pun membutuhkan Anda.
Dalam pendidikan tentang bioetik dan humaniora ini,
Anda akan banyak dibekali dengan
pengetahuan tentang etika terutama saat Anda telah menjadi dokter. Namun
sebenarnya, prinsip-prinsip etika telah tertuang secara lengkap dalam Islam,
yaitu dalam ilmu tentang akhlak. Bahkan ilmu ini tidak terbatas kepada profesi
dokter saja, tapi memayungi semua insan yang mengaku sebagai muslim. Jadi, saat
sekarang pun prinsip-prinsip etika sudah harus kita jalankan karena akhlak
-yang sumbernya jelas dari Allah SWT- berimplikasi pada akhirat yang mengikat
muslim yang berakal dan dewasa, yaitu kita semua.
Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan
dosen, sesama mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam
lingkungan kampus. Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih
diri bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik.
Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan
dosen, sesama mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam
lingkungan kampus. Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih
diri bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik. Betul bahwa setiap orang
memiliki karakter yang berbeda, tapi sikap dan perilaku yang baik bukannya
tidak dapat diamalkan. Sebagai contoh, dalam berdiskusi dengan teman-teman
Anda, seringkali terjadi benturan pendapat. Walaupun Anda yakin bahwa pendapat
Andalah yang benar, dan didukung oleh beberapa teman yang lain, sangat tidak
bijak jika Anda langsung menyalahkan dan mematahkan pendapat teman Anda.
Apalagi jika yang Anda serang adalah pribadinya, bukan opininya.
Belum lagi jika menghadapi persoalan yang berbeda,
adanya beban tugas dari dosen yang tidak habis-habis (walaupun alasan bahwa hal
tersebut untuk kepentingan mahasiswa sendiri kadang sulit diterima), dan waktu
yang terasa sangat menghimpit, tentu akan sulit bagi kita untuk tetap bersikap
stabil. Masalahnya, kita tidak punya pilihan selain menghadapinya. Kita
menerima pengakuan sebagai pribadi dewasa, jadi sudah seharusnya kita menyadari
konsekuensi dari suatu pilihan. Anda memilih untuk menjadi dokter, berarti
sedikit banyaknya Anda tahu seperti apa profesi ini.
Dari segi keterampilan, kompetensi yang dikehendaki
dijelaskan oleh masing-masing sub divisi pendidikan kedokteran. Dengan sistem
integrasi yang baru diterapkan, Anda diharapkan memiliki keterampiln klinis
yang lebih terarah. Keaktifan dari Anda sebagai mahasiswa diharapkan karena
pembelajaran ini memang dipusatkan pada Anda (student-centered learning). Para
pendidik di bidang kedokteran sepakat bahwa tujuan pembelajaran yang baru ini
adalah mengarahkan pendidikan kedokteran
kepada pengalaman berbasis komunitas, model yang berpusat pada pembelajar
sehingga memungkinkan dokter untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat sekaligus
berpraktek dengan berbekal pengetahuan dan keterampilan yang memasukkan
aspek-aspek psikososial dan biologi dalam pelayanan kesehatan.
4.
Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran
Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan
akuntabilitas sosial telah menjadi ciri profesi dokter, dan karakteristik ini
dapat diterapkan juga kepada para peneliti di bidang kedokteran. Etika dan
humanisme dapat diaplikasikan ke dalam seluruh spektrum kegiatan penelitian,
mulai dari pemilihan topik penelitian, hingga pada cara penelitian yang
dilakukan dan pada aplikasi hasil penelitian dan pengembangan.
Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus
disadari bahwa peneliti memiliki tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari
solusi dari masalah-masalah yang paling banyak menyebabkan munculnya penyakit
dan penderitaan dalam masyarakat.
Dalam melakukan percobaan yang melibatkan manusia
sebagai relawan, peneliti haruslah dibawah kontrol etis yang ketat. Dan seperti
halnya seorang dokter harus memiliki perilaku medis yang baik dengan hubungan
manusiawi dengan pasiennya, begitu juga seharusnya seorang peneliti.
Tanggung jawab dan akuntabilitas sosial dalam
penelitian dimaksudkan agar penelitian tersebut dilakukan bukan hanya untuk
kepentingannya saja. Peneliti diwajibkan melihat kegunaan hasil penelitiannya.
Jadi hasilnya tidak hanya berakhir di kertas jurnal saja, tapi harus mencapai
ke penentu kebijakan, pembuat keputusan dalam pelayanan kesehatan, dan para profesi
di bidang kesehatan serta para konsumen
No comments:
Post a Comment