Kerajinan Tekstil Tradisional Indonesia Lengkap ~ PECINTA IPA <meta content='PECINTA IPA' name='keywords'/>

PECINTA IPA

Memuat Segala Ilmu Pengetahuan


Tuesday, May 24, 2016

Kerajinan Tekstil Tradisional Indonesia Lengkap

Kerajinan Tekstil Tradisional Indonesia Lengkap 

I. Pendahuluan
Kerajinan tekstil adalah sebuah karya yang dibuat dari bahan tekstil. Untuk membuat kerajinan ini membutuhkan langkah awal yaitu mendesain dan merancang produk tersebut. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam pembuatan karya tersebut.

Saat ini, hasil dari kerajinan tangan tekstil pun sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Macam-macam kerajinan tekstil itu seperti pakaian sebagai kebutuhan sandang, taplak meja, sarung bantal, dan sprei pelapis dan aneka sandang lainnya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.


II. Pembahasan

Karya kerajinan tekstil tradisional Indonesia, secara fungsi dapat dibagi sebagai berikut. 
Sebagai pemenuhan kebutuhan sandang yang melindungi tubuh, seperti kain panjang, sarung dan baju daerah 
Sebagain alat bantu atau alat rumah tangga, seperti kain gendongan bayi dan untuk membawa barang 
Sebagai alat ritual (busana khusus ritual tradisi tertentu), contohnya, 
Kain tenun Ulos 
Kain pembungkus kafan batik motif doa 
Kain ikat celup Indonesia Timur (penutup jenazah) 
Kain Tapis untuk pernikahan masyarakat daerah Lampung 
Kain Cepuk untuk ritual adat di Pulau Nusa Penida 
Kain Songket untuk pernikahan dan khitanan 
Kain Poleng dari Bali untuk acara ruwatan (penyucian) 

A. Makna Simbolik Motif Batik Tradisional
1. Motif Sawat
Sawat Berarti Melempar. dahulu kala orang jawa percaya dengan para dewa sebagai kekuatan yang mengendalikan alam semesta. Salah satu dewa tersebut adalah Batara Indra. Dewa ini mempunyai senjata yang disebut wajra atau bajra, yang berarti kilat.senjata pusaka tersebut digunakan untuk melempar. Senjata pusaka Wjra ini diwujudkan ke dalam motif batik berupa sebelah sayap dengan harapan agar si pemakai akan selalu mendapatkan pelindungan dalam kehidupannya.
2. Motif Gurda
Gurda berasal dari kata Garuda. Dalam pandangan masyarakat jawa, Burung Garuda mempunyai kedudukan yang sangat penting. bentuk motif Gurda ini terdiri dari 2 buah sayap dan di tengah-tengahnya terdapat ekor dan badan.Motif gurda ini juga tidak lepas dari kepercayaan masalalu. garuda merupakan tunggangan Batara wisnu. oleh masyarakat jawa, garuda selain sebagai simbol kehidupan juga sebagai simbol kejantanan.
3. Motif Meru
Kata Meru berasal dari gunung Mahameru. gunung ini dianggap sebagai tempat tinggal bagi Tri Murti, yaitu Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Brahma dan Sang Hyang Siwa. Tri murti dilambangkan sebagai sumber dari segala kehidupan, sumber kemakmuran dan segala kebahagiaan hidup di dunia. meru digunakan sebagai kain motif batik agar si pemakai selalu mendapatkan kemakmuran dan kebahagiaan.
4. Motif Semen
Kata semen berarti semi atau tunas. Motif ini masih berhubungan dengan motif meru. konon dipuncak gunung mahameru terdapat tunas atau tumbuhan yang selalu bersemi. diantara pepohonan tersebut terdapat pohon-pohon yanbg dianggap keramat, yaitu pohon sandilata, pohon jambuwreksa, pohon acwata. pohon-pohon tersebut dianggap sebagai simbol kehidupan manusia di dunia.ketika dijadikan motif batik diharapkan agar si pemakai selalu dapat berhubungan dengan sang maha pencipta.
5. Motif Bango-Tulak
Motif ini terdiri dari dua warna hitam dan putih. dalam sejarah batik motif ini dianggap sebagai motif tertua. nama bango-tulak berasal dari nama burung, yaitu burung tulak. burung ini berwarna hitam dan putih. burung ini dianggap sebagai lambang umur panjang. warna hitam artinya lambang kekal, sedang warna putih artinya lambang hidup. jadi hitam putih melambangkan hidup kekal.
6. Motif Sindur
Sindur merupakan motif batik dengan dominasi warna merah dan putih. warna merah terdapat pada bagian tengah, dan putih pada bagian pinggir, membentuk gelombang. kedua warna tersebut melambangkan asal mula kehidupan. warna putih mengandung arti hidup sedang merah artinya suci.oleh karena itu motif ini sering dipakai dalam upacara pernikahan. pemakaian sindur dimaksudkan mempertemukan laki-laki dan perempuan sebagai cikal bakal kelahiran hidup di dunia.
7. Motif Gadhung Mlathi
Motif Gadhung Mlathi merupakan kombinasi dari warna hijau dan putih. warna putih terletak di tengah dan hijau di bagian pinggir. motif ini sering pula dipergunakan oleh pengantin pria maupunwanita. namun sekarang motif batik ini jarang dipakai lagi pada kain jarin, melainkan hanya kemben bagi perempuan dan ikat kepala bagi pria.

cara pakainya:
1. masukkin kainnya ke alat, lalu di-pas-in letaknya dibagian depan.
2. setelah pas, tarik kain "sisa" melilit badan. nariknya juga agak diangkat. fungsinya ada dua. pertama, supaya ada kain naik yang nanti berfungsi buat iketan. kedua, supaya kain ga balapan dibagian bawah.
3. ikat ujung dengan ujung. ikat sekali aja supaya ga "benjol". sisa kain dililit2 aja. jangan takut ga rapi, karena akan ketutupan kebaya.
4. selesai sudah

Makna Simbolik Songket
a. Motif bunga mawar dalam desain kain songket memiliki arti perlambangan sebagai penawar malapetaka. Jenis kain songket yang memiliki motif bunga mawar biasanya dipakai sebagai kelengkapan upacara cukur rambut bayi sebagai selimut dan kain gendongannya. Motif bunga mawar pada kain songket digunakan dengan harapan kehidupan si anak yang akan datang selalu terhindar dari bahaya dan selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
b. Motif bunga tanjung melambangkan keramah tamahan sebagai nyonya rumah juga sebagai lambang ucapan selamat datang kepada siapa saja. Kain songket yang mempunyai motif bunga tanjung biasa digunakan oleh nyonya rumah untuk menyambut tamu.
c. Motif bunga melati dalam desain kain songket melambangkan sopan santun, keanggungan dan kesucian. Kain songket yang memiliki motif bunga melati biasanya digunakan oleh gadis-gadis dalam lingkup kerajaan yang belum menikah karena motif bunga melati menggambarkan kesucian.
d. Motif pucuk rebung melambangkan harapan baik sebab bambu merupakan pohon yang tidak mudah rebah oleh tiupan angin kencang sekalipun. Motif pucuk rebung selalu ada dalam setiap kain songket sebagai kepala kain atau tumpal kain tersebut. Penggunaan motif pucuk rebung pada kain songket dimaksudkan agar si pemakai selalu mempunyai keberuntungan dan harapan baik dalam setiap langkah hidup.

Makna Simbolik Tenun
Simboliknya tersebut dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat bersangkutan sejak dikenalnya kain tenun tradisional, baik dalam hubungan secara vertikal maupun horisontal, dan selalu dikaitkan dengan pelaksanaan konsep sosio religi, seperti busana adat, upacara inisasi, alat tukar menukar, hadiah dan lain-lainnya. Di Nusa Tenggara Barat, khususnya di Lombok, kain kembang Komak memiliki simbol yaitu dibawa oleh gadis saat akan menikah untuk selimut tidur.

Umumnya waktu itu, masyarakat Sasak di Lombok, melangsungkan pernikahan pada musim dingin, yaitu saat pohon komak (kara) berbuah (Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya NTB, 1992 : 332).

Sedangkan untuk Bali, tepatnya di Desa Tenganan Pegeringsingan, Karangasem-Bali dikenal kain tenun tradisional geringsing dengan proses teknik ikat ganda. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kain yang memiliki beberapa bentuk corak itu, sebagai simbol untuk busana adat/religi dan nilai magis guna penolak bahaya. Hal itu dapat disimak dari nama kainnya, yaitu geringsing. Geringsing, asal kata gering (bahaya/malapetaka) dan sing (tidak), berarti tidak berbahaya. Jadi, dengan mengenakan busana kain geringsing tersebut akan terhindar dari malapetaka.

Perlu diketahui, disamping proses pembuatan sangat lama hingga setahun lebih, juga pewarnanya dari tumbuh-tumbuhan, serta harganya sampai jutaan rupiah. Di Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur), tenun ikat (hinggi) sebagai simbol orang hidup. Contoh, bila seorang istri akan melahirkan bayi tanpa didampingi suaminya, secara psikologis istri menjadi resah mengakibatkan si anak sulit lahir. Oleh karena itu, kain selimut (tenun), bisa dianggap mewakili sang suami, sehingga bayi akan cepat lahir (Purwadi, 1986 : 84). Pada suku bangsa Dayak Benuaq di Kalimantan Timur, dulu kain tenun mempunyai kekuatan magis. Misalnya, seorang (petani) memakai jaket(pakaian) motif burung sewaktu mengolah ladang, akan mengakibatkan hasil produksi tanamannya mengikat (Ensiklopedi,1990 : 245)

Wanita dan Museum
Beberapa daerah di pedesaan maupun perkotaan di negara kita, kain tenun tradisional identik dengan wanita (simbol wanita). Tradisi itu, biasanya mengalir secara turun-temurun dalam suatu keluarga yang cenderung merupakan kerja sambilan diantara deru kesibukan suatu rumah tangga sehari-hari.

Bagi kaum Kartini, sebelum mereka memasuki gerbang rumah tangga, hendaknya sudah mampu membuat kain tenun. Hal itu, dimaksudkan untuk bekal memasuki proses kehidupan berkeluarga. Lewat belaian jemarinya yang lentik, lahirlah lembaran gulai berbagai macam motif seperti: bunga, sulur, fauna, flora, geometris, identitas mereka sendiri dan lain-lainnya.

Tampaknya dilapangan, proses kreatifitas sosial tenun tradisional rambahannya tidak seperti proses pendidikan kursus-kursus yang menjamur di masyarakat, seperti komputer, mengetik, akuntasi, bahasa asing, menjarit dan lain-lainnya.

Meski gerakannya hanya dalam lokalitas tertentu (tidak banyak masyarakat terlibat dibandingkan dengan kursus-kursus tadi), tetapi masih mampu bicara sebagai primadona khas bangsa Indonesia melalui kreasi-kreasi dan fungsi sosial.

Wujud perkembangan perstektilan (kain tenun) itu, tidak terbatas untuk kualitas dan kuantitas saja. Lebih dari itu, untuk melestarikan budaya bangsa, Museum berfungsi sebagai media penyimpan, pemelihara, serta informasi ilmu pengetahuan. Di negara kita , Indonesia telah memiliki Museum Tekstil di Jakarta yang berdiri tahun 1976. Di Museum, kita tahu banyak tentang tekstil.

Makna Simbolik Sarung

Masyarakat setempat biasa menyebut ulat sutera dengan "Kokon", benang yang dihasilkan ulat ini sungguh cantik dan mengkilap. Dari sehelai benang ulat sutra tersebut lalu di tenun secara tradisional sehinnga menghasilkan lembaran kain sutra yang indah.

Mulanya, Sarung Sutera Bugis hanya digunakan sebagai kain atau bawahan padanan dari Baju Bodo, pakaian tradisional Sulawesi Selatan. Namun kini fungsinya berkembang, kain-kain tersebut pun dibuat lebih modern dan estetika.

Memang sekilas tampilannya terlihat biasa, layaknya sebuah sarung yang dikenakan untuk sholat. Namun jika dilihat lebih dekat, tiap motif menyimpan kegunaan dan makna simbolis. Sarung Sutera Bugis bermotif kotak-kotak, namun jika diperhatikan lebih teliti, tidak semua sarung memiliki kotak yang sama. Beda ukuran kotak mengandung arti yang berbeda.

Uniknya, dahulu sarung ini bisa melambangkan status seorang wanita Bugis, apakah ia sudah menikah atau belum. Caranya dilihat dari motif sarung yang dikenakan. Sarung yang memiliki motif kotak-kotak kecil dihasilkan dari paduan garis-garis vertikal dan horizontal serta berwarna cerah, dinamakan motif Ballo Renni. Motif ini hanya dikenakan oleh wanita yang belum menikah. 

Berbeda dengan Balo Lobang. Kain sarung ini memiliki garis yang cenderung tebal sehingga menghasilkan kotak yang besar pula. Warnanya lebih terang, seperti merah terang ataupun merah keemasan. Motif ini digunakan untuk pria Bugis yang belum menikah.

Sungguh menarik, selain dua motif diatas, masih ada lima motif Sarung Sutera lainnya. Diantaranya adalah Bombang, Motif Cobo dan ada Moppang yang memiliki fungsi sangat unik, yakni untuk hubungan suami istri karena ukurannya jauh lebih besar dari ukuran sarung biasa. (Laras)

B. Makna Simbolik Motif Batik Tradisional
Karya kerajinan tekstil tradisional Indonesia, secara fungsi dapat dibagi sebagai berikut. 
Sebagai pemenuhan kebutuhan sandang yang melindungi tubuh, seperti kain panjang, sarung dan baju daerah 
Sebagain alat bantu atau alat rumah tangga, seperti kain gendongan bayi dan untuk membawa barang 
Sebagai alat ritual (busana khusus ritual tradisi tertentu), contohnya, 
Kain tenun Ulos 
Kain pembungkus kafan batik motif doa 
Kain ikat celup Indonesia Timur (penutup jenazah) 
Kain Tapis untuk pernikahan masyarakat daerah Lampung 
Kain Cepuk untuk ritual adat di Pulau Nusa Penida 
Kain Songket untuk pernikahan dan khitanan 
Kain Poleng dari Bali untuk acara ruwatan (penyucian)

Tekstil tradisional Indonesia berkembang dengan kreativitas setempat baik pengaruh dari suku maupun bangsa lain. Secara geogra¬s, posisi Indonesia terletak pada persimpangan kebudayaan besar, antara dua benua Asia dan Australia, serta dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasi¬k. Gelombang kontak perdagangan yang melewati wilayah negara kepulauan Indonesia memberikan pengaruh dan mengakibatkan akulturasi (percampuran) budaya yang tampak pada pengembangan karya kerajinan tekstil di Indonesia.

Kain-kain tradisional di wilayah kepulauan Indonesia ini pada awalnya merupakan alat tukar/ barter yang dibawa oleh pedagang pendatang dengan penduduk asli saat membeli hasil bumi dan rempah-rempah di Indonesia. Sekitar abad ke-15 Masehi, pedagang muslim Arab dan India melakukan kontak dagang dengan mendatangi pulau Jawa dan Sumatra. Pengaruh Islam secara langsung dapat dilihat pada tekstil Indonesia. Beberapa batik yang dibuat di Jambi dan Palembang di Sumatra, serta di Utara Jawa, dibuat dengan menggunakan ayat-ayat yang berasal dari bahasa Arab Al Qur'an. 

Di Indonesia juga terdapat kain sarung kotak-kotak dan polos yang banyak digunakan di Semenanjung Arab, Timur Laut Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Kepulauan Pasi¬k. Pada abad ke-13 pedagang Gujarat memperkenalkan Patola, yaitu kain dengan teknik tenun ikat ganda dari benang sutra yang merupakan busana Gujarat, Barat Laut India. Proses pembuatan kain Patola sangat rumit sehingga di India kain ini digunakan dalam berbagai upacara yang berhubungan dengan kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian juga sebagai penolak bala. 

Melalui perdagangan dengan bangsa Gujarat, keberadaan kain Patola tersebar luas di kepulauan Nusantara. Kain Patola umumnya hanya dimiliki oleh kalangan terbatas. Penduduk setempat yang telah memiliki keterampilan menenun pun mencoba mereproduksi kain yang sangat berharga tersebut dengan tenun ikat pakan. Di Maluku, kain ini sangat dihargai dan dikenakan dengan cara dililitkan di pinggang atau leher. Para penenun di Nusa Tenggara Timur mengembangkan corak kain tenun yang dipengaruhi oleh corak yang terdapat pada kain Patola, dengan corak yang berbeda untuk raja, pejabat, dan kepala adat dalam jumlah yang sangat terbatas dan hanya dikenakan pada upacara–upacara adat. Kain Patola dari Lio NTT ini ada yang dibuat sepanjang 4 meter yang disebut katipa berfungsi sebagai penutup jenazah. 

Motif Patola juga dikembangkan menjadi kain Cinde di daerah Jawa Tengah. Kain Cinde tidak dibuat dengan teknik tenun ikat ganda, tetapi dibuat dengan teknik direct print, cap atau sablon. Kain ini digunakan sebagai celana dan kain panjang untuk upacara adat, ikat pinggang untuk pernikahan, serta kemben dan selendang untuk menari. Kain serupa terdapat pula di Palembang, disebut kain Sembagi. Sembagi yang berwarna terang digunakan pada upacara mandi pengantin dan hiasan dinding pada upacara adat. Kain Sembagi yang berwarna gelap digunakan untuk penutup jenazah. Motif Patola memengaruhi motif batik Jlamprang yang berwarna cerah yang berkembang di Pekalongan, dan motif Nitik yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta yang berwarna sogan (kecokelatan), indigo (biru), kuning dan putih. Corak Patola juga berkembang di Pontianak, Gorontalo, dan kain tenun Bentenan di Menado. 

Kain dengan teknik tenun ikat ganda dibuat di Desa Tenganan Pegeringsingan di Bali. Kain sakral tersebut dikenal dengan nama kain Gringsing yang artinya bersinar. Teknik tenun ikat ganda hanya dibuat di tiga daerah di dunia, yaitu di Desa Tenganan Bali, Indonesia (kain Gringsing), di Kepulauan Okinawa, Jepang (tate-yoko gasuri) dan Gujarat India (kain Patola). Teknik tenun ikat ganda adalah tenun yang kedua arah benangnya, baik benang pada lungsin maupun pakan diwarnai dengan teknik rintang warna untuk membentuk motif tertentu. 

Kreativitas bangsa Indonesia mampu mengembangkan satu jenis kain tenun Patola Gujarat menjadi beragam tekstil yang sangat indah di seluruh daerah di Indonesia. Contoh perkembangan kain Patola ini hanya salah satu dari bukti kreativitas tinggi yang dimiliki oleh bangsa kita. 

Pada tekstil tradisional, selain untuk memenuhi kebutuhan sandang, juga memiliki makna simbolis di balik fungsi utamanya. Beberapa kain tradisional Indonesia dibuat untuk memenuhi keinginan penggunanya untuk menunjukkan status sosial maupun kedudukannya dalam masyarakat melalui simbolsimbol bentuk ragam hias dan pemilihan warna. Selain itu ada pula kain tradisional Indonesia yang dikerjakan dengan melantunkan doa dan menghiasinya dengan penggalan kata maupun kalimat doa sebagai ragam hiasnya. Tujuannya, agar yang mengenakan kain tersebut diberi kesehatan, keselamatan, dan dilindungi dari marabahaya. 

Kain tradisional Indonesia dibuat dengan ketekunan, kecermatan yang teliti dalam menyusun ragam hias, corak warna maupun maknanya. Akibatnya, kain Indonesia yang dihasilkan mengundang kekaguman dunia internasional karena kandungan nilai estetikanya yang tinggi.


III. Penutup

Tekstil adalah jalinan antara lungsin dan pakan atau dapat dikatakan sebuah anyaman yang mengikat satu sama lain, tenunan dan rajutan. Tekstil dapat ditemukan pada kehidupan sehari-hari, yaitu kain biasa digunakan untuk pakaian sebagai kebutuhan sandang, sprei pelapis tempat tidur dan sarung bantal, taplak meja, kain yang dijahit menjadi tas dan produk kerajinan lainnya.

Kerajinan tekstil di Indonesia dapat dibagi menjadi kerajinan tekstil modern dan kerajinan tekstil tradisional. Kerajinan tekstil modern banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan praktis atau fungsional, sedangkan kerajinan tekstil tradisional umumnya memiliki makna simbolis dan digunakan juga untuk kebutuhan upacara tradisional. Perkembangan saat ini para perancang atau desainer mulai memanfaatkan kembali kain tradisional Indonesia pada karya-karyanya. Para perancang atau desainer berusaha mengembangkan ide dari tekstil Indonesia agar menjadi lebih dikenal luas di masyarakat, baik di Indonesia maupun di dunia. Semoga Bermanfaat

No comments:

Post a Comment